Kisah Gudang Garam, Dari Pembajakan Hingga Dituntut Rp 1 T

JAKARTA | KEPRIEXPOSE – Perusahaan produsen rokok besar asal Kediri, Jawa Timur yakni PT Gudang Garam Tbk (GGRM) saat ini sedang disorot oleh banyak orang, setelah pemilik perusahaan dengan kode saham (GGRM) ini tengah tersandung sejumlah masalah hukum.
Pemilik GGRM yakni Susilo Wonowidjojo merupakan konglomerat yang cukup terkenal pasalnya dia juga masuk ke jajaran orang terkaya Indonesia ke-14 dengan harta sekitar US$ 3,5 miliar atau setara Rp 51 triliun berdasarkan data Forbes.

Susilo diketahui tengah tersandung sejumlah masalah hukum. Pertama, terkait kredit macet PT Hair Star Indonesia (HSI) kepada Bank OCBC NISP senilai Rp 232 miliar. HSI sebelumnya adalah anak usaha PT Hari Mahardika Utama (HMU).

Bank OCBC NISP juga mengajukan gugatan secara perdata di Pengadilan Negeri Sidoarjo Jawa Timur, dan sidang perdana dijadwalkan pada Selasa, 7 Februari 2023.

Pihak-pihak yang menjadi tergugat yakni: Susilo Wonowidjojo, PT HMU, PT Surya Multi Flora, Hadi Kristanto Niti Santoso, Linda Nitisantoso, Lianawati Setyo, Norman Sartono, Heroik Jakub, Tjandra Hartono, Daniel Widjaja, Sundoro Niti Santoso. Serta turut tergugat PT HSI dan Ida Mustika.

Dalam gugatan ini, Bank OCBC NISP meminta ganti rugi senilai Rp 1 triliun dan senilai US$ 16,51 juta atau setara sekitar Rp 244,35 miliar. Total, nilai gugatan ganti rugi ini mencapai Rp 1,24 triliun.

Adapun Susilo Wonowidjojo kerap dikenal dengan Cai Daoping, merupakan anak ketiga dari Tjoa Jien Hwie alias Surya Wonowidjojo, pendiri dari GGRM. Melansir laman resminya, GGRM telah berdiri sejak 1958 di Kediri, Jawa Timur.

Produk Gudang Garam bisa ditemukan dalam berbagai variasi, mulai sigaret kretek klobot (SKL), sigaret kretek linting-tangan (SKT), hingga sigaret kretek linting-mesin (SKM).

Sejak 2008, Susilo menggantikan Rachman Halim Wonowidjojo memimpin Gudang Garam Group. Sejak saat itu, bisnis rokoknya pun terus berkembang dan berhasil mengantarkan keluarga Wonowidjaja masuk ke dalam daftar deretan orang terkaya Indonesia pada 2013.

Ternyata, gurita bisnisnya tidak hanya rokok, tapi juga merambat menjadi pengembang jalan tol dan bandara di Kediri. Belakangan mereka juga mulai masuk ke bisnis kelapa sawit.

Dalam laporan Bank OCBC NISP di Bareskrim menyebutkan, HSI mempunyai pinjaman kepada Bank OCBC NISP sejak 2016.

Sesuai perjanjian kredit tersebut, Bank OCBC NISP memberikan kredit modal kerja untuk mendukung pengembangan bisnis rambut palsu atau wig HSI yang pabriknya berada di Sidoarjo, Jawa Timur.

Pada saat kredit tersebut diberikan di Agustus 2016, Meylinda Setyo yang adalah Susilo Wonowidjojo, berada dalam Susunan Pengurus HSI sebagai Presiden Komisaris.

Pada tahun yang sama di bulan Desember, HMU milik Susilo Wonowidjojo menjadi pemegang saham pengendali PT HSI bersama PT Surya Multi Flora, dengan masing-masing sebanyak 50% saham.

Adapun berdasarkan data AHU, Kementerian Hukum dan HAM, akta Nomor 016 tanggal 28 Juli 2016 dan diperbarui pada 21 Juli 2021, Susilo Wonowidjojo memiliki sebanyak 99,9% saham PT HMU senilai Rp 1,93 triliun.

“Jadi ketika kredit diberikan, Meylinda Setyo yang adalah Istri Susilo Wonowidjojo menjabat sebagai Presiden Komisaris HSI, dan kemudian HMU menjadi pemegang saham 50% saham HSI, di mana Susilo Wonowidjojo merupakan pemilik HMU yang mengendalikan HSI. Status itulah yang juga menjadi pertimbangan banyak bank, selain Bank OCBC NISP, untuk memberikan kredit kepada PT HSI selama periode 2016-2021,” tutur Hasbi.

Terkait kepemilikan saham, pada 17 Mei 2021, berdasarkan akta perusahaan Nomor 12, kepemilikan 50% saham HMU di HSI tiba-tiba beralih kepada Hadi Kristianto Niti Santoso. Sementara, Surya Multi Flora tetap memiliki 50% saham.

“Hilangnya saham HMU dari HSI itu kemudian diikuti dengan aksi PKPU yang akhirnya berujung pailit terhadap HSI di Pengadilan Niaga Surabaya pada tahun 2021. Kami menduga adanya indikasi perbuatan melawan hukum dari HMU untuk menghindari kewajiban HSI kepada para bank,” ujar Hasbi.

Akibat adanya kasus ini, saham GGRM pun ditutup ambles 5,73% ke posisi harga Rp 23.850/unit pada penutupan perdagangan Jumat (3/2/2023) kemarin. Padahal empat hari sebelumnya, saham GGRM sempat menguat, di mana tiga hari sebelumnya saham GGRM sempat melesat hingga 5% lebih.

Hingga penutupan perdagangan kemarin, saham GGRM ditransaksikan sebanyak 7.499 kali dengan volume sebesar 4,99 juta lembar saham serta nilai transaksinya mencapai Rp 121,63 miliar.

Sebelum digugat oleh Bank Bank OCBC NISP, PT Bank Mega Tbk juga pernah menggugat Bos GGRM Susilo. Gugatan ini muncul pada akhir tahun lalu.
Kala itu, Bank Mega menggugat perdata GGRM atas dugaan perbuatan melawan hukum. Bank Mega mengaku sudah dirugikan Rp 112 miliar lebih oleh salah satu orang terkaya sekaligus pemilik pabrik rokok terbesar di Indonesia.

Selain Susilo, Bank mega juga menggugat Meylinda Setyo, Kasita Dewi Wonowidjojo, Swasti Dewi Wonowidjojo, Daniel Widjaja. Kemudian PT Hari Mahardhika Usaha (PT HMU), Hadi Kristanto Niti Santoso, Notaris Ida Mustika, PT Hair Star Indonesia (PT HSI), Lianawati Setyo, dan PT Surya Multi Flora.

Susilo, dalam kasus ini merupakan pemegang 99% saham serta pengendali utama tergugat PT Hari Mahardhika Usaha (PT HMU) sejak 2008 sampai sekarang. Dia pernah jadi direktur utama perusahaan ini hingga 2012, sebelum digantikan pihak lainnya.

HMU yang dipimpin Susilo, merupakan pemegang 50 persen saham tergugat PT Hair Star Indonesia (PT HSI) sejak bulan November 2016 – 16 Mei 2021.

Sedangkan HSI sendiri adalah perseroan terbatas yang bergerak di bidang produksi rambut dan bulu mata palsu. Perusahaan itu adalah debitur yang menerima fasilitas kredit dari Bank Mega untuk keperluan modal kerja pada 17 Juli 2019.

PT HSI sendiri dipimpin oleh istri Susilo, tergugat Meylinda Setyo, yang jadi komisaris perusahaan itu 2006-2014.

Sebelum kasus gugatan ganti rugi Rp 1 triliun oleh Bank OCBC NISP, Susilo bahkan Gudang Garam pun sempat tersandung berbagai masalah sebelumnya, mulai dari adanya pembajakan hingga ‘kematian’ pendiri Gudang Garam.
Keinginan Sang Ayah untuk mengadu nasib di negeri orang membuat Tjoa Jien Hwie (3 tahun) sampai di Hindia Belanda pertama kalinya.

Keluarganya tinggal di Sampang, Madura dan mendirikan toko kelontong untuk bertahan hidup. Namun, disana ia tidak lama. Ayahnya meninggal dan memaksanya pindah ke Kediri untuk tinggal bersama pamannya.

Dalam catatan Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong and Salim Group (2016), pamannya adalah produsen kretek bermerek cap 93. Tjoa kemudian bekerja di sana hingga mampu membangun bisnis sendiri.

Tepat pada 1956, Tjoa resmi keluar dan membajak 50 pegawai cap 93 untuk bekerja dengannya. Usai membeli tanah di Kediri, ia memproduksi rokok yang dibungkus daun jagung kering, alias rokok krobot. Mereknya adalah Inghwe. Untuk memasarkannya, Tjoa membajak jalur distribusi rokok cap 93. Lewat langkah cerdik ini bisnisnya semakin besar.

Dua tahun berselang, tepat pada 26 Juni 1958, Tjoa dan timnya berhasil mendirikan pabrik rokok bernama Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam. Rokok pertamanya dinamai “Gudang Garam Kuning”.

Tidak diketahui alasan ada kata “Garam” di penamaannya. Mungkin ini disebabkan karena Tjoa pernah tinggal di Madura, pulau pengeskpor garam. Apapun spekulasinya, yang pasti popularitas Gudang Garam saat tampil pertama langsung melejit dan mengalahkan cap 93.

“Saat tampil pertama sebagai pabrik, perusahaannya telah melakukan pergerakan dengan cepat hingga mampu memproduksi 50 juta batang yang mempekerjakan 500-an buruh di 40 pabrik kecil,” tulis Raditya dalam Perkembangan Industri Rokok PT. Gudang Garam (2019).

Selain karena memotong jalur distribusi pesaingnya, kesuksesan diakibatkan juga oleh kepiawaian Tjoa memilih tembakau terbaik secara langsung.

Joe Studwell dalam Asian Godfathers (2017) memaparkan, pada 1960-an Gudang Garam termasuk produsen rokok kretek terbesar di Indonesia. Suntikan modal pinjaman berupa kredit pita cukai dari Bank Nasional Indonesia (BNI) menjadi penyebabnya. Bisnisnya makin berkembang. Pabrik dan pegawainya semakin banyak.

Sudah puluhan juta rokok yang berhasil dilinting. Selain kretek, Gudang Garam juga mengeluarkan rokok filter. Untuk di luar negeri namanya Gudang Garam International. Sementara di dalam negeri, bermerek Surya (diambil dari nama Indonesia Tjoa, Surya Wonowidjojo) dan Gudang Garam Mild.

Memasuki tahun 1970, atau kurang dari 20 tahun sejak berdiri, Gudang Garam mencapai masa kejayaannya. Hal ini disebabkan karena dua hal.

Pertama, adanya dukungan pemerintah lewat skema PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Kedua, keberhasilan pabrik menjaga keotentikan dengan mempertahankan rokok lintingan tangan manusia di kala rokok buatan mesin sudah menjamur. Ini membuatnya tetap digemari.

Sejak Surya sakit dan melepaskan diri dari pucuk pimpinan pada 1983, manajemen Gudang Garam kacau-balau. Produksinya menurun menjadi 3,5 juta batang per tahun.

Akibatnya, posisi puncak klasemen rokok kini diisi Djarum. Dua tahun kemudian Surya meninggal, bisnisnya dilanjutkan oleh sang putra, yakni Susilo Wonowidjojo.

Dalam “Tiga Puluh Tahun Gudang Garam Perjalanan Penuh Makna” yang dimuat Majalah Eksekutif edisi Juli 1988, di bawah kepemimpinan Susilo terjadi perombakan besar-besaran terhadap sistem bisnis, mulai dari produksi sampai distribusi. Susilo juga pandai mendekati pemerintah untuk memuluskan perkembangan bisnisnya.

Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, ini tidak terlepas dari kedekatannya dengan Probosutedjo, adik Presiden Soeharto. Terciptalah simbiosis mutualisme antara keduanya.

Pemerintah yang merasa mendapat keuntungan dari cukai akhirnya membantunya lewat BNI. Terkucurlah dana pinjaman hasil negosiasi dengan Singapura sebesar US$ 75 juta.

Dana ini kemudian digunakan untuk promosi dan peningkatan produksi. Belakangan, mesin linting mulai diterapkan Gudang Garam untuk menggenjot jumlah batang rokok.

Hasil dari seluruh upaya inilah yang membuat Gudang Garam masih eksis hingga sekarang. Keluarga Wonowidjojo pun bertengger dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

KEPRIEXPOSE

Sumber : CNBC Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *