Solusi Memberantas Persaingan Tidak Sehat Dalam Zaman Ekonomi Digital di Indonesia

kondisi ekonomi digital di indonesia kepriexpose batam kepulauan riau RobinPakpahan pimpinan redaksi

Persaingan usaha yang tidak sehat di zaman ekonomi digital di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Permasalahan ini awalnya dipicu oleh banyaknya pedagang UMKM yang mengalami penurunan omzet secara drastis karena tidak bisa bersaing dengan produk impor yang dijual sangat murah di platform social commerce seperti TikTok.

Sebagai solusi mengatasi permasalahan ini, Pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Permendag ini antara lain memuat ketentuan bahwa platform social commerce seperti TikTok tidak boleh boleh lagi menggabungkan layanan e-commerce dan social media dalam satu platform. Selain itu, platform e-commerce tidak boleh menjual barangnya sendiri dan juga tidak boleh menjual barang impor di bawah harga minimum US$ 100 untuk mencegah predatory pricing.

Permendag Nomor 31 Tahun 2023 mungkin dapat mengamankan situasi secara sementara. Namun, pendekatan reaktif ini tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka panjang karena hanya terfokus pada salah satu bentuk praktik monopoli (predatory pricing) dan hanya terbatas pada salah satu industri di ekonomi digital (e-commerce). Untuk bisa merumuskan solusi jangka panjang yang komprehensif, kita harus terlebih dahulu memahami akar permasalahannya.

Tidak dapat dimungkiri platform digital telah meningkatkan kualitas kehidupan kita. Melalui layanan serta teknologi baru yang mereka tawarkan, kita sekarang memiliki lebih banyak pilihan produk, dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik.

Kita juga memiliki kenyamanan berbelanja yang lebih tinggi karena pengurangan biaya pencarian (search costs). Selain itu, para pelaku usaha juga mendapatkan manfaat yang besar karena platform digital memberikan jangkauan konsumen yang luar biasa (Oxera, 2015).

Meskipun demikian, tidak ada jaminan semua dampak positif ini akan bertahan seterusnya, terutama jika persaingan usaha di ekonomi digital tidak berjalan dengan sehat. Sebaliknya, jika ekonomi digital kita dimonopoli, maka yang akan terjadi adalah inovasi teknologi dan kualitas produk akan menurun, sementara harga akan melambung tinggi (UK Digital Competition Experts Report, 2019).

Berbagai laporan ahli dan kasus hukum yang melibatkan praktik monopoli oleh platform digital di seluruh dunia menjadi peringatan yang nyata tentang bahaya laten monopoli di ekonomi digital. Ancaman ini terjadi karena terdapat beberapa karakteristik ekonomi seperti entrybarriers yang tinggi, economies of scale yang dipacu oleh big data, serta network effects yang kuat, yang membuat ekonomi digital rentan terhadap fenomena ‘tipping‘.

Saat ‘tipping‘ terjadi, maka platform pertama yang mampu menjangkau ‘user critical mass‘ akan menguasai sebagian besar pasar. Sehingga, dinamika persaingan bukan lagi ‘competition in the market‘, namun berubah menjadi ‘winnertakesall‘ (Stigler Committee’s Report on Digital Platforms, 2019).

Dinamika ‘winnertakesall‘ ini merupakan salah satu akar permasalahan, karena memberikan insentif yang sangat tinggi bagi platform digital untuk melakukan praktik monopoli. Platform yang dominan kemudian dapat menggunakan kekuatan pasarnya untuk menyingkirkan pesaing, memperluas posisi dominannya ke pasar yang berdekatan, dan mengeksploitasi konsumen (European Commission Report on Competition Policy for the Digital Era, 2019).

Dalam konteks e-commerce, platform digital memilki berbagai cara untuk memonopoli pasar. Sebagai contoh, platform dapat menyingkirkan pesaing melalui perilaku ‘selfpreferencing‘ dengan memberikan perlakuan yang lebih baik bagi produk atau layanannya sendiri dibandingkan produk atau layanan kompetitor.

Selain itu, platform juga dapat memonopoli pasar dengan mengikat merchants melalui klausul eksklusivitas, sehingga merchants tidak boleh menjual produknya di platform lain. Setelah pesaing telah tereliminasi dan user serta merchants menjadi bergantung pada platform tersebut, maka platform yang dominan dapat membebankan ‘service fee‘ yang tinggi bagi merchants dan meningkatkan harga bagi user.

Risiko ini bukan sekedar khayalan belaka: tiga contoh di atas diambil dari kasus-kasus riil yang telah terjadi di berbagai negara. Pertama, perilaku selfpreferencing terjadi dalam kasus Google Shopping, di mana Google didenda 2,42 miliar Euro oleh European Commission karena menyalahgunakan posisi dominannya di pasar online search dengan memberikan posisi ranking yang lebih tinggi untuk hasil dari Google Shopping.

Kedua, raksasa e-commerce Tiongkok Alibaba didenda 18,2 miluar Yuan karena memaksa toko online untuk berjualan hanya di platformnya dan melarang mereka untuk berjualan di platform pesaing. Ketiga, contoh yang terakhir merupakan ringkasan dari gugatan US Federal Trade Commission terhadap Amazon.

Solusi Jangka Panjang

Untuk mencegah praktik monopoli di ekonomi digital, para pemangku kebijakan seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu mengambil pendekatan yang proaktif dan inovatif. Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan pemerintah sebagai solusi jangka panjang.

Pertama, DPR perlu segera merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena sudah tertinggal zaman. Kita telah melihat bagaimana platform digital dapat memanfaatkan mahadata dan algoritma untuk mengendalikan pasar dan memanipulasi harga (Ezrachi & Stucke, 2016).

Sehingga, revisi Undang-Undang Antimonopli menjadi urgen guna memasukkan pasal-pasal yang melarang berbagai bentuk perilaku anti-persaingan melalui penggunaan data dan algoritma seperti self-preferencing.

Kedua, sumber daya KPPU perlu diperkuat khususnya dari segi kepakaran di bidang teknologi informasi. Hal ini menjadi urgen karena para ahli hukum dan ekonomi di KPPU perlu disokong oleh ahli teknologi untuk dapat menganalisis dampak data dan algoritma terhadap persaingan usaha dan untuk menentukan kapan KPPU perlu melakukan intervensi. Secara otomatis, hal ini juga berarti sumber daya keuangan KPPU perlu diperkuat dengan meningkatkan anggaran tahunan lembaga tersebut.

Ketiga, KPPU perlu meningkatkan kerja sama dengan pemangku kebijakan lain yang bergerak dalam bidang teknologi karena regulasi ekonomi digital memerlukan pendekatan multi-sektor. Kerja sama antar-lembaga ini dapat diwujudkan melalui sebuah forum yang melibatkan instansi terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UKM guna memfasilitasi koordinasi dan pertukaran informasi dalam regulasi ekonomi digital. Kerja sama ini juga dapat menjadi cara untuk meningkatkan kapasitas sumber daya di masing-masing instansi.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *