JAKARTA | KEPRIEXPOSE – Demonstrasi di Indonesia hal yang wajar dilakukan, mulai dari kaum buruh, aktivis, maupun mahasiswa. Semua elemen masyarakat ini kerap kali bersuara dalam menyampaikan aspirasi, tuntutan, maupun bentuk-bentuk ketidakadilan.
Namun, beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan adanya demonstrasi yang dilakukan para kepala desa dari berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini adalah demonstrasi yang jarang sekali dilakukan, demonstrasi tersebut menjadi fenomenal karena tuntutanya kontroversial dan tidak main-main.
Dilansir dari berbagai sumber media elektronik, seluruh demonstran yang tergabung dalam Apdesi, Abpednas, dan PPDI menuntut diberlakukannya penambahan masa jabatan kepada desa dari semula enam tahun menjadi sembilan tahun. Selain itu, para kepala desa juga menuntut penambahan periode jabatan yang bermula hanya dua periode menjadi tiga periode.
Meskipun banyak dikritik, jika itu benar saja terjadi, kepala desa tentu akan memiliki masa jabatan yang paling lama sebanyak 27 tahun, sebuah angka yang hanya berbeda lima tahun saja di bawah masa jabatan Presiden Soeharto saat pemerintahan Orde Baru berlangsung.
Pertanyaannya, mengapa para kepala desa begitu menggebu-gebu menuntut hal tersebut? Meskipun aksi tersebut disinyalir merupakan hasil operasi intelijen dan sarat akan kepentingan partai politik, salah satu alasan yang dikemukakan adalah untuk mengurangi konflik di wilayah desa akibat perpecahan yang timbul saat proses pemilihan kepala desa.
Terlepas dari apapun alasannya, tentunya tuntutan ini merupakan suatu upaya yang dilakukan secara kolektif untuk melanggengkan kekuasaan kepala desa. Posisi kepala desa sebagai unit pimpinan terkecil di lingkungan pemerintahan agaknya memiliki posisi tawar yang menurut sebagian pihak sangatlah menarik. Selain karena memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana desa bagi pembangunan di daerahnya, yang berjumlah sekitar Rp 1 miliar per tahun, posisi kepala desa memiliki prestise tersendiri. Bagi sebagian orang, kepala desa tidak hanya sebuah jabatan politik berskala kecil, tetapi juga representasi pimpinan adat yang mewakili budaya masyarakat setempat. Dari aspek sosio-kultural, kepala desa memiliki kedudukan politik yang unik di mata masyarakat pedesaan dan terkadang dianggap sebagai “raja kecil” di lingkungannya. Hal itu diduga akibat dari manifestasi historis budaya politik Indonesia di masa lalu, yang bersumber sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara masih berdiri. Budaya Politik Zaman Kerajaan Indonesia memiliki sejarah yang amat panjang terkait kebudayaan politik. Budaya politik monarki yang kental sebelum zaman kemerdekaan, selama ribuan tahun, seperti di zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, tentu memengaruhi persepsi sosial masyarakat terhadap penguasa, pemerintah, ataupun pemimpin negara.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia selalu hidup di bawah naungan berbagai kerajaan maupun dinasti politik, meskipun bukti sejarahnya lebih terbatas dibanding kawasan lain. Kerajaan tertua yang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia yakni Kutai Kartanegara, baru muncul pada abad ke-5 M.
Sebelumnya, konsep tentang kerajaan sudah jauh lebih dahulu muncul di belahan benua lainnya, seperti di peradaban Mesir tahun 3000 SM dan Romawi Kuno sekitar 750 SM. Sistem kekuasaan yang berbentuk dinasti pada zaman kerajaan membuat masyarakat Indonesia sangat akrab dengan tradisi politik ini. Dalam tradisi kerajaan, budaya kerja bisa terbentuk secara feodal, dan pergantian kekuasaan dilaksanakan melalui hubungan keluarga secara turun-temurun. Hal itu menjadi salah satu ciri khas budaya politik di Indonesia, yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh bangsa Eropa ketika datang dan menjajah wilayah Nusantara. Demi meraih kepentingannya, bangsa Eropa yang telah lebih dahulu mengalami masa-masa kerajaan dengan sangat mudah memecah belah kerajaan-kerajaan tersebut dan menjadikannya wilayah koloni. Dalam bukunya yang berjudul Oligarki dan Totalitarianisme Baru, Prof Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa tradisi kekuasaan feodal bak sebuah kerajaan ini juga terjadi di desa-desa yang dipimpin langsung oleh kepala desa. Di Maluku atau Maluku Tengah misalnya, istilah desa disebut dengan “negeri” dan kepala desanya disebut “raja”. Desa, udik, dusun, kampung, banjar (Bali), jorong, nagari/kampuang (Sumbar), gampong (Aceh), marga, mendope (Palembang, Bengkulu), temukung (NTB), gaukang (Makassar), lembang (Sulsel), huta/nagari (Sumut), klebun (Madura), negeri (Maluku, Maluku Tengah), adalah sebutan-sebutan aglomerasi permukiman di wilayah desa (rural), yang dipimpin oleh seorang kepala desa dengan berbagai sebutan atau julukan sesuai bahasa lokalnya masing-masing. Julukan tersebut rata-rata memiliki arti kehormatan yang tinggi, bahkan memiliki makna sakral, kultus, dan feodal. Sebagai contoh, berbagai istilah yang digunakan dalam penyebutan kepala desa di berbagai wilayah Tanah Air antara lain: kepala kampung atau petinggi (Kaltim), klebun (Madura), pambakal (Kalsel), kuwu (Cirebon), hukum tua, wanua (Minahasa), kapita laut, sangadi (Sulut), ayahanda (Gorontalo), geuchik atau keuchik (Aceh), wali nagari (Sumbar), tiyuh/pekon (Lampung), perbekel (Bali), kuwu (Pemalang, Brebes, Tegal, Cirebon, dan Indramayu), pangulu (Simalungun, Sumut), pertain (Pesisir Barat, Lampung), kepala lembang (Tana Toraja, Sulsel), serta ondofolo atau ondoafi (Papua). Meskipun sistem pemerintahan di berbagai daerah lokal ini berbeda-beda, namun sistem kepemimpinannya dipraktikkan melalui hubungan keluarga secara turun-temurun di hampir seluruh desa di Indonesia, terkecuali di beberapa tempat yang adat istiadatnya lebih demokratis. Pergantian kepemimpinannya diatur sedemikian rupa di dalam satu keturunan keluarga secara bergiliran, tamun tetap dijaga kesesuaiannya berdasarkan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat. Budaya Politik di Level Nasional Jika budaya politik “berarwah kerajaan” saat ini masih sering dipraktikkan di level pemerintahan desa, agaknya cara berpikir yang sama juga terjadi di level nasional. Gelombang reformasi yang terjadi selama 25 tahun terakhir dan diikuti dengan berbagai institusionalisasi politik serta berbagai upaya konsolidasi demokrasi, justru mengalami institusionalisasi ulang seiring dengan banyaknya benturan kepentingan yang semakin meluas. Institusionalisasi ulang yang terjadi, menurut Prof Jimly Asshiddiqie, adalah akibat kembalinya paradigma organisasi pemerintahan yang justru semakin tradisional. Pada paradigma modern, sebuah organisasi seharusnya justru lebih berfokus pada sistem, contohnya seperti pada perusahaan start-up yang diusung oleh anak-anak muda. Namun, hal yang berbeda justru terjadi pada organisasi pemerintahan, di mana tata kelola manajemennya masih sangat tradisional dengan mengutamakan fokus pada peranan figur sentral tokoh pejabat atau pimpinan di organisasi tersebut. Akibat hal ini, dapat dipastikan organisasi pemerintahan tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien sesuai dengan ukuran-ukuran dan tuntutan di zaman modern. Singkatnya, penilaian efektivitas lembaga oleh publik pada paradigma tradisional yang terjadi saat ini, justru dinilai hanya dari peranan sentralitas atau ketokohan pimpinannya semata. Paradigma tradisional dalam organisasi justru semakin diperparah dengan ketidakmampuan pejabat tinggi negara di level nasional saat ini untuk membedakan mana yang merupakan urusan pribadi dan mana yang menjadi urusan dinas atau kelembagaan. Di ranah media sosial misalnya, seringkali kita temui berbagai statemen yang dikemukakan oleh pejabat tinggi negara yang bukan menjadi bidang tugasnya, sehingga membuat antara statemen pribadi dan statemen jabatan semakin kabur batasannya. Salah satu contoh adalah ketika pejabat yang bertanggung jawab dalam permasalahan ekonomi justru berkomentar dalam isu-isu politik praktis, dan ketika pejabat yang membawahi bidang politik justru memberikan komentar pada urusan pribadi artis. Adapula beberapa pejabat yang sibuk menggalang popularitasnya dan mengkampanyekan diri untuk bersaing dalam kontestasi politik tertentu, namun dilakukan dalam melalui akun resmi media sosial lembaga yang dipimpinnya. Hal ini dapat berdampak pada komunikasi di ranah publik yang membingungkan, akibat beredarnya informasi simpang siur dan berbeda-beda dari berbagai instansi yang tiap-tiap pimpinannya justru memiliki konflik kepentingan. Disadari atau tidak, layaknya yang dilakukan oleh banyak kepala desa, pergantian pemimpin di level nasional seringkali dilakukan layaknya dinasti turun-temurun. Fenomena politik darah biru ini dapat diamati dalam berbagai contoh. Salah satunya, ketika kita mengamati dengan seksama organisasi partai politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024. Dapat dikatakan hampir semuanya mengalami “pembiruan darah politik”, kecuali PPP, PKS, dan Golkar dalam batas-batas tertentu. Enam dari sembilan penerus kepemimpinan partai politik di DPR tercatat memiliki hubungan keluarga, layaknya yang terjadi pada zaman kerajaan. Meskipun terdapat pengecualian bagi tiga partai yang sedikit berbeda, tetapi tetap saja banyak pejabat di internal partai tersebut yang merupakan putra-putri dari tokoh-tokoh di masa lalu, yang notabene cepat mendapat promosi akibat pengaruh dari orangtuanya saat berkuasa. Dengan demikian, sistem kekuasaan “monarki” layaknya zaman feodal dengan segala tradisinya memang merupakan suatu budaya politik dan kebiasaan lama masyarakat Indonesia yang nyatanya masih dianut hingga saat ini. Menurut beberapa sumber yang belum terkonfirmasi secara ilmiah, tercatat bahwa terdapat kurang lebih 809 kerajaan yang pernah eksis di Nusantara hingga saat ini. Tak heran, warisan perilaku budaya politik masyarakat di Indonesia masih bersifat feodal dengan pola-pola dinasti kepemimpinan di dalamnya. Sistem perpolitikan di Tanah Air tentu sangat menentukan nasib dan arah pembangunan negara di masa yang akan datang. Agaknya, perlu dikembangkan cara pandang dalam berpolitik yang lebih progresif, terutama dari generasi muda, agar lebih berfokus pada perubahan sistem demi organisasi pemerintahan yang semakin modern. Generasi muda memiliki peranan penting dalam mengikis sedikit demi sedikit “arwah-arwah zaman kerajaan” di ranah perpolitikan nasional, baik dalam pemerintahan skala kecil maupun skala yang lebih luas.